Pameran Seni Rupa Kontemporer, MANIFESTO V “Arus”

https://satunusantaranews.blogspot.com/2016/05/pameran-seni-rupa-kontemporer-manifesto.html
Jakarta
(satunusantara) MANIFESTO. Inilah sebuah pernyataan sikap,
pandangan, tujuan yang dikemas Galeri Nasional Indonesia dalam sebuah ekspresi
seni rupa, namun bukan untuk dilihat secara estetis saja, melainkan lebih untuk
dipahami pesan dan makna yang berusaha disibak dan dipresentasikan.
Pameran Seni Rupa
Kontemporer Indonesia MANIFESTO diselenggarakan pertama kali pada tahun 2008
dalam rangka menyambut peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.
Berlanjut digelar MANIFESTO kedua “Percakapan Masa” (2010), MANIFESTO #3 “ORDE
dan KONFLIK” (2012), dan MANIFESTO No.4 “Keseharian” (2014).
Meski tidak dinyatakan
secara resmi, pameran ini kemudian menjadi sebuah tradisi pameran dua tahunan
yang umumnya dikenal dengan sebutan ‘biennale’. Namun berbeda dengan pameran
biennale seni rupa baik yang bersifat nasional maupun internasional, Pameran
MANIFESTO terus dijaga ciri khas dan keunikannya sebagai pencerminan
perkembangan seni rupa Indonesia yang sebenar-benarnya.
Pada 2016 ini, MANIFESTO
kembali disajikan untuk yang kelima kali dengan mengangkat tema “ARUS”. Dalam
tulisan salah satu kurator pameran, Rizki A. Zaelani, MANIFESTO V menyoal
tentang arus seni rupa di aras moralitas, saat ekspresi seni dihayati sebagai
ungkapan bahasa moral (etik) yang mengungkapkan secara mendesak dan signifikan
kecenderungan potensi nurani manusia.
“Kita tak lagi bicara
tentang seseorang atau sekelompok orang secara tertentu karena di era
transparansi realitas digital dan virtual saat ini segala hal yang sosial
adalah juga yang bersifat personal, dan juga sebaliknya. Kini, tak lagi mudah
menemukan sejatinya nilai seseorang diantara kelimun. Masa kini adalah keadaan
dimana arus ekspresi kecenderungan nurani mendapat tantangan hebat dari arus
dorongan kecenderungan naluri. Seni sejatinya mengenal dan memahami keadaan
ini,” ungkap Rizki.
“Manifestasi arus seni rupa
yang dimaksud kini adalah dukungan dan sikap pembelaan terhadap nilai penting
dan mulia ihwal kebenaran dan bukannya tentang ‘kebenaran’ yang mengandung
kepentingan, meresap diberbagai bentuk pengalaman interaksi hidup dan sikap
penghargaan pada lingkungan hidup.
Meski tak jadi mudah dan
sederhana, Manifesto Arus Seni Rupa kini hendak menunjukkan sikap dan pendirian
di balik ekspresi karya-karya seni demi memperjuangkan makna hidup yang lebih
berarti dan berfaedah bagi keutamaan nilai kemanusiaan,” sambungnya.
Sikap dan pendirian tersebut
dimanifestasikan ke dalam sekitar 35 karya lebih berupa lukisan, patung,
object, fotografi, seni rupa instalasi, seni rupa video, serta mural, yang
sebagian besar adalah karya-karya terbaru. Karya-karya tersebut tidak hanya
dipajang di dalam ruang pamer Gedung A dan B, tapi juga merespon area outdoor
Galeri Nasional Indonesia.
Skala area dan karya-karya
spektakuler tersebut tentu menawarkan banyak kesempatan dan ketertarikan
tersendiri yang mampu menyedot pengunjung dari berbagai kalangan untuk
mengapresiasi. Terlebih peserta pameran ini merupakan perupa yang aktif
berkarya dan telah lama berkiprah di kancah seni rupa Indonesia bahkan
mancanegara, sehingga sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya.
Sebanyak 35 perupa yang
meramaikan pameran ini adalah Agus Suwage, Anusapati, Arahmaiani, Asmudjo J.
Irianto, Diyanto, Eddie Hara, Entang Wiharso, F. Sigit Santoso, Gigih Wiyono,
Hafiz Rancajale, Hanafi, Haris Purnomo, Heri Dono, Isa Perkasa, Ivan Hariyanto,
Ivan Sagita, Jatiwangi Art Factory (JAF), Jong Merdeka, Koeboe Sarawan, Krisna
Murti, Made Djirna, Made Wianta, Mella Jaarsma, Moelyono, Nasirun, Nindityo
Adipurnomo, Nyoman Erawan, Oscar Motuloh, Putu Sutawijaya, Ronald Manulang,
Teguh Ostenrik, Tisna Sanjaya, Titarubi, Ugo Untoro, dan Yani Maryani
Sastranegara.
Para perupa tersebut
dituturkan Asikin Hasan—yang juga kurator pameran ini adalah sebagian besar generasi yang tumbuh
di antara era 80-an dan 90-an, serta
sebagian kecil generasi 2000-an yang karya-karyanya kurang lebih memiliki
semangat dan keyakinan sama yaitu: seni yang berpihak, bahkan kerap membawa
pesan moral, sosial, dan kebaikan bagi masyarakat.
“Keyakinan itulah yang
dianggap sebagai ‘Arus’ yang terus bergerak dari dulu hingga sekarang pada
mereka. Tentu saja, masing-masing seniman menyatakan arus-arus keyakinan mereka
pada potensi peran seni yang dianggap mampu mendorong perubahan baik secara
personal, sosial, maupun kultural,” jelas Asikin.
Melalui pameran ini, Kepala
Galeri Nasional Indonesia, Tubagus ‘Andre’ Sukmana hendak menunjukkan segi
perkembangan seni rupa yang berhadapan langsung dengan perkembangan seni rupa
internasional melalui kiprah dan pengalaman para seniman yang berjaya pada
periode 80-90-an hingga kini yang telah membawa perkembangan Indonesia dalam
forum internasional.
“Semoga kegiatan pameran ini
mampu mengukir dan menandai kembali eksistensi dan pencapaian artistik serta
reputasinya. Selain itu, tentu pameran ini juga memberikan manfaat dalam
meningkatkan daya apresiasi seni pada masyarakat luas,” ucap Tubagus ‘Andre’.linda.