Pameran Tunggal Hanafi, "Pintu Belakang/Derau Jawa"
https://satunusantaranews.blogspot.com/2016/03/pameran-tunggal-hanafi-pintu.html
Jakarta
(satnusantara) Apakah Jawa? Sebuah imajinasi yang tidak
memiliki teritori. Atau teritorinya hanya nyata dalam bahasa Jawa? Hanafi
membuka kembali dialog kawasan historis di sekitar dunia Jawa ini, setelah
pameran sebelumnya (Oksigen Jawa) di Galeri Soemardja ITB, Bandung, 2015.
Kali ini, Pintu Belakang |
Derau Jawa yang dikuratori Agung Hujatnikajennong lebih untuk melihat –
bagaimana Jawa sebagai sebuah “bungkusan identitas” – apakah masih merupakan
faktor penentu dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Karena
Jawa merupakan mayoritas dimana proses politik kebudayaan masih terus
menggeliat hingga kini.
Lingkungan seni rupa yang
dijalani Hanafi, terbentuk dalam tradisi di mana media masih dipahami sebagai
pencarian dan pengukuhan identitas estetis. Ketika pengertian ini bergeser dan
media kian bergerak sebagai industri kontemporer (pasar yang mengatasi
kekinian), kemungkinan yang bisa dilakukan Hanafi adalah membaca ulang
lingkungan budaya yang pernah membentuknya.
Pintu belakang merupakan
imajinasi lain tentang Jawa. Pintu
belakang dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang
terkait dengan istilah “jalan belakang” untuk berbagai hubungan informal tanpa
publik.
“Kalau pulang ke rumah, aku
lebih suka masuk lewat pintu belakang. Pintu depan selalu memunculkan bayangan
bapak yang duduk di kursi menatap lurus ke luar pintu. Posisi yang mengandung
konstruksi kekuasaan untuk mengawasiku. Kini pintu belakang tidak berfungsi
lagi. Halaman belakang lalu berubah jadi sebuah ideologi yang kosong, kemudian
cenderung diisi dengan sampah,” kata Hanafi. “Kalau kita tidak punya pintu
belakang, kita tidak punya pulang. Rumah menjadi tempat untuk pergi,”
lanjutnya.
Pameran ini serupa arus
balik ketika Hanafi mulai melihat arus eksternalisasi budaya, pasar global,
alih-alih merupakan tekanan “pintu depan” dari arus eksternalisasi budaya ini.
Konsep pintu belakang dalam tata ruang rumah Jawa menjadi perhatiannya kembali.
Jawa yang dialami Hanafi berada di luar lingkaran Keraton. Walau untuk
masyarakat Yogyakarta, Purworejo (tempat kelahiran Hanafi) disebut sebagai
daerah Bagelen. Software identitas yang cair ini membuat Hanafi nyaris tidak
memiliki beban untuk mengalami Jawa secara personal.
Tetapi apakah Jawa itu?
Sebuah imajinasi yang tidak memiliki teritori. Atau teritorinya hanya nyata
dalam bahasa Jawa. Dan keberagaman Indonesia mungkin tidak pernah ternyatakan
sebagai keberagaman tanpa masuknya Islam, kolonialisme, kemudian modernism.
Jawa sebagai mayoritas menjadi bandul utama dalam arus politik identitas ini.linda.



