Rizal Ramli: Blok Masela Harus Dorong Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Bagian Timur
https://satunusantaranews.blogspot.com/2016/01/rizal-ramli-blok-masela-harus-dorong.html
Jakarta
(satunusantara) Dalam waktu dekat Presiden Joko Widodo akan
menentukan, apakah pemanfaatnya dengan kilang darat atau di terapung laut.
Menteri Koordiantor Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yakin, pemanfaatan
lapangan gas Blok Masela akan memperhatikan kepentingan daerah sekitar ladang
gas khususnya, dan kawasan Indonesia Timur umumnya.
Terkait masalah ini,
Presiden memberi arahan agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumber
pemasukan dalam bentuk devisa. Gas juga harus dilihat sebagai sarana penggerak
ekonomi, baik secara nasional maupun, terutama di daerah sekitar lokasi ladang
gas.
“Saya yakin pemanfaatan
ladang gas abadi Masela akan memperhatikan dampaknya pada pembangunan ekonomi
kawasan Indonesia Timur, khususnya Maluku dan sekitarnya. Ia juga harus mampu
memberi multiplier effect seluas-luasnya, baik dalam hal penyerapan tenaga
kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun
pembangunan industri petrokimia dan lainnya,” kata Menteri Koordinator Maritim
dan Sumber Daya Rizal Ramli.
Perbincangan seputar Blok
Masela memang nyaris tidak bisa lepas dari hitung-hitungan biaya teknis
pembangunan kilangnya. Terlebih lagi ada usaha-usaha sementara pihak yang
menggiring opini, seolah-olah biaya kilang floating lebih murah daripada kilang darat.
Pihak-pihak itu, dengan
segala sumber daya yang dimiliki, menyatakan bahwa biaya pembangunan kilang
apung ‘hanya’ US$14,8 miliar. Sementara itu, biaya untuk pembangunan kilang
darat mencapai US$19,3 miliar.
Namun, apakah angka-angka
ini valid? Dari mana mereka bisa menyorongkan angka-angka tersebut? Faktanya,
teknologi kilang apung hingga kini belum proven. Di dunia baru satu proyek
pembangunannya, yaitu kilang apung Prelude, Australia, itu pun dengan kapasitas
hanya 3,6 juta ton/tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada Masela yang
mencapai 7,5 juta ton/tahun.
Mereka berusaha menimbulkan
kesan biaya pembangunan kilang apung lebih murah dari yang sebenarnya.
Sebaliknya, pembuatan kilang darat dibuat seolah-olah lebih mahal. Caranya,
pada hitung-hitungan biaya FLNG Plant, mereka mengkonversi ke dalam dolar
Australia, yaitu sebesar US$2,65 miliar/mtpa. Sedangkan untuk onshore, mereka
menggunakan denominasi dolar Amerika yang sebesar US$3,5 miliar/mtpa. Dengan
cara ini, maka wajar jika biaya kilang
darat seolah-olah menjadi lebih mahal daripada kilang apung.
Padahal, dengan menggunakan
asumsi biaya riil pembangunan kilang FLNG Prelude yang US$3,5 miliar/mtpa, maka
perkiraan pembangunan floating LNG
Masela mencapai US$22 miliar. Sebaliknya, berbekal asumsi biaya riil sejumlah
kilang LNG darat yang ada (Arun, Bontang, Tangguh, dan Donggi), perkiraan biaya
LNG darat Masela di Pulau Selaru (sekitar 90 km dari blok Masela) hanya US$16
miliar. Jumlah ini sudah termasuk biaya pembangunan jalur pipa ke darat.
Bicara soal biaya, satu hal
yang harus disadari, bahwa pada akhirnya semua biaya tersebut akan dibayar
negara melalui mekanisme cost recovery. Pada titik ini menjadi jelas, bahwa
sejatinya semuanya tergantung pada negara; apakah ingin membangun kilang darat
atau kilang apung. Berbeda halnya bila seluruh biaya murni menjadi
tanggungjawab kontraktor, maka perdebatan soal pilihan pembangunan kilang darat
atau apung masih terbuka lebar.
Pembangunan
Kawasan
“Jadi, jelas bahwa selama
ini ada manipulasi atau pelintiran data, sehingga seolah-olah biaya kilang
apung lebih murah dibandingkan biaya kilang darat. Manipulasi itu bersumber
dari data-data yang dipasok Shell yang merupakan calon operator sekaligus
vendor pembangunan kilang, jika jadi di laut,” ujar Rizal Ramli.
Sayangnya, para pejabat kita
justru menelan mentah-mentah data yang disodorkan itu. Berbekal data tersebut,
mereka bahkan ikut secara aktif dan gencar mengampanyekan perlunya pembangunan
kilang apung. Padahal jelas-jelas, Presiden mengarahkan agar pemanfaatan blok
gas Masela juga memperhatikan pembangunan kawasan, khususnya Maluku dan
Indonesia Timur pada umumnya.
Pemerintah sebagai pemegang
amanah kekuasaan yang diberikan rakyat, tentu juga memperhatikan aspirasi rakyatnya.
Pada konteks Masela, masyarakat dan tokoh-tokoh Maluku menghendaki pembangunan
kilang dilakukan di darat. Pertimbangannya, mereka juga menginginkan manfaat
sosial dan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Sebelum merdeka, Maluku
memiliki SDM yang bagus dengan tingkat kesehatan dan pendidikan yang maju.
Namun ironis, setelah 70 tahun justru Maluku menjadi provinsi termiskin
keempat. Ini sungguh ironis, karena Maluku memiliki 25 blok migas dan
kemungkinan akan terus bermunculan.
Untuk itu, pengelolaan migas
harus diubah sehingga rakyat mendapatkan manfaat, industri bertumbuh, dan
kesejahteraan membaik. Dengan adanya unit pengolahan gas di Pulau Selaru
(sekitar 90 km dari Masela), tentu terbuka lapangan kerja bagi penduduk lokal.
Kondisi ini dapat
meningkatkan pengembangan wilayah sekitarnya menjadi kawasan downstream
industry. Industri pupuk, petrokimia, gas untuk bahan bakar dan produk
substitusi lainnya adalah beberapa di
antaranya yang bakal lahir.
Dampak ikutan lainnya,
Selaru dan pulau-pulau sekitarnya akan hidup dan ramai oleh kapal-kapal dan
penerbangan dari berbagai wilayah yang akan ramai pulang-pergi ke sana. Tak
pelak lagi, dibutuhkan lapangan terbang baru. Pada gilirannya Selaru
benar-benar menjadi kota sibuk yang memberikan manfaat ekonomi bagi
penduduknya.
“Maka akan lahir kota
Balikpapan atau Bontang baru. Kondisi ini akan menciptakan lapangan kerja yang
sangat berarti bagi rakyat di kawasan itu. Ini adalah salah satu contoh dari
multiplier effect yang bisa langsung dirasakan. Bahkan bukan mustahil, dalam 10
tahun Selaru bakal menyalip Bontang dan
Balikpapan,” kata Menko Rizal Ramli. Masih ada keuntungan lain. Jika dalam
perjalanannya kelak ditemukan
cadangan-cadangan gas baru antara Masela dan Selaru, pemerintah tidak perlu
menggelontoran duit besar lagi untuk memanfaatkannya. Kelak tinggal
menyambungkan pada jaringan pipa yang sudah ada.
Di atas semua itu, dengan
pembangunan kilang darat dan pipanisasi, berarti negara benar-benar berusaha
memakmurkan rakyat Indonesia, khususnya yang ada di kawasan Indonesia Timur.
Alur seperti ini sekaligus klop dengan konsep Tol Laut-nya Presiden Jokowi.
Semua benefit tersebut
mustahil terwujud bila yang dipilih adalah pembangunan fasilitas LNG terapung.
Seperti disebutkan di depan, teknologi
kilang apung ini dikuasi atau dimiliki Shell. Kandungan lokalnya tidak banyak,
paling banter hanya 10%. Angka ini sudah meliputi bahan baku, teknologi, juga
sumber daya manusia (SDM). Lagi pula,
LNG terapung yang diinginkan Kementerian ESDM dan SKK Migas belum
teruji. Teknologi ini baru akan beroperasi untuk pertama kali di blok Prelude,
Australia, nanti, pada 2017.
Argumen
Teknis yang ‘Ngawur’
Meski begitu banyak manfaat
yang bisa diraih dari pembangunan kilang darat, faktanya mereka yang
mengehendaki kilang apung sepertinya tetap tidak mau menerima. Mereka kembali meneruskan
serangan-serangan. Kali ini, pihak-pihak itu menggunakan berbagai argumen
teknis. Antara lain, di selatan Maluku banyak gempa, ada palung yang dalam,
kandungan wax (lillin) pada gas yang merepotkan dalam pipanisasi, dan tingginya
arus bawah laut yang bisa membahayakan jaringan pipa.
Berbagai argumen teknis ini
seolah-olah benar adanya. Namun di mata para ahli yang paham betul teknologi
migas, semuanya justru menjadi lelucon belaka. Soal di bagian selatan Maluku
yang disebut-sebut banyak gempa, misalnya. Data sesimotektonik dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) yang ada justru menunjukkan, selama 200 tahun terakhir kawasan
itu sama sekali tidak mengalami gempa. Gempa memang terjadi, tapi itu lokasinya
di bagian tengah dan utara Maluku.
Begitu juga dengan adanya
palung dalam yang menyulitkan jaringan pipa bawah laut. Data yang ada
menunjukkan kemiringannya hanya 2-3 derajat saja.
Menurut kontraktor INPEX,
guna mengatasi kandungan wax pada gas lapangan Masela dibutuhkan biaya yang
sangat besar. Akibatnya biaya investasi skenario Kilang LNG darat menjadi lebih
mahal karena harus menyediakan Floating
Production Storage and Offloading (FPSO).
Benarkah demkian?
Tidak. Kadar lilin hanya dikandung hidrokarbon fasa fluida
(minyak bumi). Kalaupun produksi lapangan Abadi mengandung mengandung wax, maka
secara teknis akan dipisahkan dan ditampung di fasilitas produksi atau FPSO.
Hasil produksi minyak di lapangan lepas pantai, akan dipindahkan ke tanker dan
dibawa ke kilang minyak untuk diolah. Sedangkan gas yang sudah bersih atau
disebut sebagai lean gas dialirkan melalui jalur pipa ke
darat.
Bagaimana dengan derasnya
arus bawah laut yang katanya akan menganggu jaringan pipa? Ini juga argumen
teknis yang mengada-ada. Di laut utara (North Sea), banyak jaringan pipa minyak
dan gas di bawah laut. Padahal arusnya sangat tinggi. Toh selama ini aman-aman
saja. Begitu juga dengan perairan laut dalam Aljazair. Sejauh ini semuanya
baik-baik saja.
Risiko
kilang apung
Kepada mereka yang ngotot
menghendaki pembangunan Floating LNG,
baiknya mau bersikap lebih jujur dan berhati bersih. Sejumlah argumen dan dalih
untuk mendukung FLNG terbukti mengada-ada dan bisa dipatahkan.
Sebaliknya, beberapa fakta
justru menunjukkan FLNG menyimpan banyak risiko. Antara lain, hingga kini di
dunia belum ada FLNG yang beroperasi. Satu-satunya poryek FLNG yang tengah
dikerjakan adalah di Prelude, Australia, itu pun dengan kapasitas hanya 3,6
juta ton/tahun. Sedangan di Masela, kapasitasnya mencapai 7,5 juta ton/tahun.
Hingga kini belum ada
referensi biaya pembangunan FLNG. Ini artinya ada ketidakpastian dalam proses
penyelesaian pembangunannya. Bukan mustahil angkanya terus membengkak seiring
dengan berbagai ketidakpastian tersebut.
Lagi pula, karena
teknologinya belum proven, semestinya pembangunan FLNG Masela masih harus
menunggu keberhasilan FLNG Prelude
sebagai benchmark atau acuan. Bila secara oeprasional FLNG Prelude tidak
running well, bukan mustahil proyek FLNG Masela dibatalkan. Sebaliknya, jika FLNG Prelude sukses, bukan
serta-merta FLNG Masela bisa langsung dikebut. Pasalnya, ia masih membutuhkan
kajian lebih lanjut karena perbedaan keduanya dari aspek ukuran dan volume
produksi LNG, LPG, dan kondensatnya.
Selain itu, kilang apung
juga berisiko dalam keselamatan, stabilitas, dan keandalan operasi. Seperti
diketahui, sebelum dialirkan ke kapal-kapal tanker pengangkut, gas tersebut
dikompres dengan suhu rendah, hingga minus 160 derajat selsius. Kalau ada gempa
atau ombak besar saat proses pemindahan ke tanker berlangsung, maka sulit
menghindari terjadinya gesekan. Hal ini akan menimbulkan potensi kebakaran
dahsyat. FLNG Plant hanya cocok untuk ladang-ladang gas dengan cadangan kecil
dan jauh dari darat alias marjinal.
Satu lagi, umumnya semua
proyek hulu Migas sebelum dan setelah selesai dibangun harus
diasuransikan. Ini yang terjadi pada
kilang Bontang dan lainnya. Bagaimana dengan kilang FLNG Masela? Karena hingga
kini belum ada kilang sejenis yang beroperasi, maka belum ada perusahaan
asuransi yag berani menanggung risikonya.
Dengan berbagai kelemahan
dan risiko tersebut, masihkah kita akan memanfaatkan ladang gas Masela dengan
membangun kilang apung? Pada saat yang sama, begitu banyak benefit yang bisa
diraih jika pembangunannya dilakukan dengan mengguakan kilang darat.
Yang perlu diketahui, konsultan Poten & Partner adalah
konsultan yang disewa Shell pada pembangunan FLNG di Prelude, Australia. Dengan
latar belakang seperti ini, independensi Poten jadi sangat diragukan. Dia akan
berusaha menyenangkan dan menguntungkan Shell.
Lagi pula, Presiden sudah
memberi arahan agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumber pemasukan
dalam bentuk devisa. Gas juga harus dilihat sebagai sarana penggerak ekonomi,
baik secara nasional maupun, terutama, di daerah sekitar lokasi ladang gas.
Masih mau ngotot dengan kilang apung?. linda.






